Generasi Digital Natives dan Digital Immigrants

Agung Sulistyanto 24 April 2017

Generasi Digital Natives dan Digital Immigrants

Istilah Digital Natives dan Digital Immigrants diciptakan oleh seorang konsultan pendidikan bernama Marc Prensky pada tahun 2001 dalam artikelnya yang berjudul Digital Natives, Digital Immigrants. Marc membahas tentang kesenjangan antara Siswa yang lahir sebagai Digital Natives dalam dekade terakhir abad ke-20. Dengan Pendidik yang menggunakan metode lawas untuk mengajar Siswanya. Karena menurutnya teknologi telah mengubah cara siswa berpikir dan memproses informasi. Sehingga sulit bagi Siswa untuk unggul secara akademis menggunakan metode pengajaran yang sudah usang (jaman dulu). Prensky menjuliki anak-anak ini Digital Natives “Pribumi Digital”. Artikel Marc Prensky dapat diunduh disini.

Generasi Digital Natives adalah generasi yang lahir dimana teknologi sudah berada di lingkungannya (dimulai tahun 1990). Sedangkan generasi Digital Immigrants adalah generasi yang lahir sebelum 1990. Secara pribadi Saya merasa beruntung karena termasuk dalam generasi peralihan. Karena Saya masih mendapat didikan oleh orang tua yang masih menggunakan aksen tradisional dalam mendidik Saya. Sehingga aksen Digital Immigrants masih melekat pada Saya. Sebagai contoh Saya lebih suka membaca buku cetak daripada membaca buku elektronik menggunakan komputer, atau Saya lebih suka bertemu dan membahas sesuatu daripada membahasnya di grup chatting, atau Saya lebih suka pergi ke pasar daripada membeli sesuatu secara online. Dan itu sangat membantu Saya dalam bergaul dan bersosialisasi saat Saya tumbuh dewasa.

Namun setelah tahun 2000 seiring dengan kemajuan teknologi dan penetrasi Smartphone yang semakin masif, anak-anak saat ini betul-betul Digital Natives. Sehingga menjadi hal lumrah bahwa saat ini anak-anak yang lahir setelah tahun 2000 sudah mahir mengoperasikan Smartphone sebelum usianya 3 tahun. Beberapa beranggapan hal ini sebagai sesuatu yang hebat. Tapi mari kita lihat kenapa ini bisa terjadi ? Hal ini terjadi karena sejak kecil teknologi sudah berada di lingkungannya. Bagaiman orang tuanya berfoto dengan Smartphone, mengajak selfie, bagaimana orangtuanya membalas pesan Whatsapp, menghiburnya dengan vidio di youtube dan lain-lain. Oh tidak, bahkan saat masih didalam kandungan sang bayi merasa bahwa jari sang ibu selalu bergerak-gerak lincah pada touch screen Smartphone. Perilaku tersebut dia rekam setiap waktu sehingga secara tidak langsung anak tersebut familiar dengan teknologi, karena teknologi berada di lingkungannya. Inilah generasi Digital Natives yang sesungguhnya. Berikut vidio ilustrasi lucu generasi Digital Natives.

Secara pribadi Saya merasa Digital Natives adalah hal lumrah, karena memang zaman yang berbeda antara Generasi Digital Natives dan Digital Immigrants membuat mereka beradaptasi. Namun pengawasan Orang Tua terhadap anak dalam penggunaan teknologi harus betul-betul diperhatikan. Orang Tua harus memastikan anaknya mendapatkan konten sesuai dengan porsinya. Orang tua harus bisa memastikan penggunaan teknologi yang tepat guna untuk anaknya. Orang tua harus bisa membatasi. Karena akan menjadi anggapan yang salah saat orang tua merasa jika anaknya berada dirumah sepanjang hari dengan smartphone adalah hal terbaik dibandingkan bermain lumpur bersama teman sebayanya. Sungguh anggapan yang salah. Karena hal tersebut akan berdampak tidak baik dengan pembentukan karakter dan perilakunya dimasa mendatang.

Penutup dari tulisan ini, "sungguh Saya merindukan dimana Saya dapat melihat anak-anak bermain petak umpet, tamplak gunung, gobak sodor atau permainan yang lainnya. Mungkin suatu saat permainan-permainan tersebut hanya akan dimainkan oleh pejuang-pejuang zaman yang rela mengorbankan waktunya untuk menjaga sejarah". Semoga kita semua dapat mengambil hikmah dari tulisan ini.

Salam, Agung Sulistyanto.